Wajibkah
kita bermazhab?
karena ada salah satu penanya yang
menanyaakn dalil kewajiban bermazhab, berikut kami tampilkan sedikit uraian
tentang Mazhab dan bermazhab, semoga bermanfaat.
sebelum kita menghukumi apakah
wajibkan kita bermazhab atau tidak ada baiknya kita harus mengenal dulu apa itu
mazhab? berikut penjelasan sedikit tentang hal tersebut.
Mazhab.
Mazhab adalah ism makan atau
ism zaman yang berasal dari kata;
ذهب – يذهب – ذهبا /
ذهابا
yang berarti pergi atau berjalan,
maka secara bahasa arti mazhab adalah tempat berjalan/jalan atau waktu
berpergian. Pengertian mazhab dalam bingkai syari`at adalah sekumpulan
pemikiran Imam Mujtahid dibidang hukum-hukum syari`at yang digali dengan
menggunakan dalil-dalil secara terperinci, dan kaedah-kaedah ushul. Jadi
Mazhab yang kita maksudnya di sini adalah mazhab fiqh. Saat ini kita
mengenal empat Mazhab dalam dunia islam, yaitu:
- Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi dibentuk oleh seorang
ulama besar kufah yang bernama lengkap, Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit bin
Zuwatha al-Kufii. Beliau lahir pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 150 H.
beliau adalah termasuk dalam atba’ al-tabi’in, dan ada ulama yang
mengatakan bahwa beliau tergolong dalam Tabi’in, yang hidup dalam dua
daulah yaitu daulah umayyah dan daulah ‘abbasiyyah, sehingga beliau pernah
bertemu dengan Anas bin Malik dan juga meriwatkan hadits darinya.[1] Sekarang
ini mazhab Hanafi merupakan mazhab di Mesir, Turki, Syiria dan Libanon. Dan
mazhab ini dianut sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan, Turkistan,
Muslimin India dan Tiongkok.
- Mazhab Maliki
Mazhab ini didirikan oleh seorang
ulama besar madinah yang lahir pada tahun 93 H/73 M, dari keluarga Arab terhormat,
bernama lengkap Abu ‘Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir bin amr
bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al-Ashbahi. Orang tua dan
leluhurnya dikenal sebagai ulama hadits Madinah, kerena ini membuat imam Malik
sejak kecil mencintai ilmu hadits dan ilmu lainnya. Mula-mula beliau menimba
ilmu hadits pada ayah dan paman-pamannya. Kemudian berguru kepada ulama-ulama
terkenal antara lain, ‘Abd ar-Rahman bin Hurmuz dan Nafi’ Maula Ibn ‘Umar. Dan
guru beliau dibidang fiqh ialah, Rabi’ah bin ‘Abd Ar-Rahman, dan imam Ja’far
ash-Shadiq[2].
Imam Malik telah menguasai banyak
ilmu sehingga tidak sedikit ulama yang menimba ilmu padanya, termasuk
diantaranya imam Syafi’i penegak pertama mazhab Syafi’i, Bahkan menurut satu
riwayat, murid terkenal imam Malik mencapai 1.300 orang. Daerah-daerah yang
Menganut Mazhab Maliki. saat ini ada di Marokko, Aljazair, Tunisi, Libia,
Bahrain, dan Kuwait.
- Mazhab Syafi’i
Mazhab ini didirikan oleh seorang
ulama yang lahir pada tahun 150 H, di Gazza bagian selatan dari Palestina.
Bernama lengkap imam Abu ‘Abd al-llah Muhammad bin Idris bin ‘Abbas bin ‘Utsman
bin Syafi’ bin Saib bin Abu Yazid bin Hasyim bin ‘Abd al-Muthallib al-Quraiyi
al-Hasyimi, yang bertemu dengan Rasulullah pada kakek beliau yang kesembilan.
Sedangkan ibunya bernama Fathimah binti ‘Abdillah bin Hasan bin Husain bin ‘Ali
Ra yang merupakan shahabat dan menantu Rasulullah SAW.
Sejak masih usia Sembilan tahun,
beliau sudah hafal seluruh al-Qur’an, kemudian dalam usia sepuluh tahun,
beliau sudah hafal kitab al-muwattha’ imam Malik yang memuat lima ribu
hadits-hadits shahih. Banyanya ilmu yang beliau miliki karena ketekunannya
dalam mencari ilmu, hampir setiap pusat ilmu berliau ziarahi seperti Mekkah,
Madinah, Iraq, Kufah dan Mesir, disana beliau berjumpa dengan ulama-ulama
besar, seperti imam Malik, dimana imam Syafi’i selalu bersama beliau selama
satu tahun. Dan Abu Yusuf, ashhab dari Abu Hanifah.
Pada tahun 179 H, beliau
diberi izin oleh imam Malik untuk berfatwa sendiri, namun beliau tetap bertaqlid
pada guru-gurunya, sehingga pada tahun 198 H, sesudah usia beliau genap 48
tahun, mulailah berfatwa sendiri dengan lisan maupun dengan tulisan, pertama
memberi fatwa di ‘Iraq yang diishtilahkan dengan al-Qaulul Qadim, kemudian
berpindah ke Mesir dan fatwa beliau selama disini diishtilahkan dengan
al-Qaulul Jadid. Di kota inilah beliau menghadap Allah Swt sesudah shalat
maghrib malam Jum’at, akhir bulan Rajab pada tahun 204 H, bertepatan dengan 28
Juni 819 M. Mazhab Syafi’i sampai sekarang dianut oleh umat Islam di Libia,
Mesir, Indonesia, Pilipina, Malaysia, Somalia, Arabia Selatan, Palestina,
Yordania, Libanon, Siria, Irak, Hijaz, Pakistan, India, Jazirah Indo China,
Sunni-Rusia dan Yaman.
- Mazhab Hanbali
Mazhab ini didirikan oleh imam Abu
‘Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Asada az-Zuhili asy-Syaibani, beliau
lahir di pusat pengembangan islam Baghdad pada tahun 164 H dan dikota ini pula
banyak menghabiskan masa hidupnya untuk mengabdi pada pendidikan islam sehingga
wafat pada bulan Rabi’ul Awal tahun 241 H, sebagaimana ulama lainnya, beliau
juga hijrah kepusat-pusat ilmu pengetahuan lainnya seperti, kufah, Bashrah,
Makkah, Madinah, Yaman, Syam, dan Jazirah.
Beliau adalah seorang ulama hadits,
dan fiqh yang banyak menghafal hadits dari guru-gurunya antara lain Imam
Syafi’i dan Hasyim bin Basyir bin Abi Khazim al-Bukhari sehingga beliau
menyusun satu kitab yang memuat empat puluh ribu hadits. Banyak para ulama yang
memberi kesaksian atas ketinggian ilmunya, antara lain Ibrahim al-Harbi berkata
“aku lihat Ahmad bin Hanbal seolah-olah beliau telah mengumpulkan ilmu ulama
terdahulu dan selanjutnya”[3]. sekarang ini Mazhab Hanbali menjadi mazhab
resmi pemerintahan Saudi Arabia dan mempunyai penganut terbesar di seluruh
Jazirah Arab, Palestina, Siria dan Irak.
Selain mazhab yang empat masih
terdapat mazhab lain, seperti Mazhab Al-Ibadhiyah yang didirikan oleh
Jabir bin Zaid (wafat 93 H). Mazhab Azh-Zhahiriyah yang didirikan oleh
Daud bin Ali Azh-Zhahiri (wafat 270 H), Mazhab Laist yang didirikan oleh
imam al-Laits bin sa’ad bin’Abdur rahman al-Fahmi ( 94 H-175 H), Mazhab
Tsaury didirikan oleh Imam Sufyan ibn Sa’id bin Masruq bin Habib bin
Rafi’I, ( 97 H/715 M ), Mazhab Auza`i didirikan oleh Abdurrahman Al
Auza'i (wafat 113 H), Mazhab Ishaq ibn Rahawiyah, Mazhab Sufyan bin Uyainah,
Mazhab Imam Hasan Basri.
Namun selain mazhab yang empat
semuanya tidak bertahan lama pengikutnya hanya ada pada saat Imam mazhabnya
masih hidup, setelah beliau wafat tidak ada lagi yang meneruskan mazhabnya.
Karena itu sangat sulit bagi kita menelusuri mazhab selain empat apalagi
bermazhab dengan selain yang empat.
Ijtihad
Ijtihad adalah etimologi berarti
kesanggupan dan kemampuan. Sedangkan pengertian Ijtihad secara istilah adalah
mengerahkan segenap kemampuan untuk menghasilkan sebuah dhan terhadap
satu hukum.[4] Pelaku ijtihad disebut sebagai Mujtahid. Ijtihad telah
semenjak Rasulullah SAW, saat Rasulullah SAW memerintahkan shahabat Mu`az Bin
Jabal ke negri Yaman menjadi hakim, Rasulullah bertanya: ‘’Dengan apa kamu
akan menuturkan perkara yang diadukan padamu? Mu`az menjawab; dengan
hukum yang tertera dalam kitabullah. Rasulullah bertanya lagi; jika
engkau tidak menemukan dalam kitabullah? Mu`az menjawab; aku akan
menghukumi dengan keputusan-keputusan Rasulullah. Rasululah terus bertanya;
“jika kamu tidak mendapatkan keputusan Rasulullah? Mu`az menjawab;
“Aku akan berijtihad dengan pendapatku’’ (H.R. Ad Darimy)
Syarat ijtihad
Tidak sembarang orang dapat
melakukan ijtihad. Bahkan dari kalangan shahabat Nabi sendiri hanya beberapa
orang saja yang berijtihad sendiri. Beberapa syarat mutlak harus dipenuhi.
Secara ringkas syarat-syarat tersebut antara lain:[5]
- Baligh
- Berakal (Memiliki malakah untuk memahami).
- Memiliki IQ yang tinggi (syadid fahmi)
- Memahami dalil `aqly (bara`ah ashliah).
- Memahami loghat arab dan ilmu arabiyah
(loghat, nahu, saraf, badi`, bayan, ma`any, `arudh, qawafy dll)
- Memahami ayat atau hadis yang bekenaan dengan hukum.
- Mengusai serta ahli dalam memraktekkan qawaid-qawaid
syara`
- Mengenal nasikh dan mansukh.
- Mengetahui masalah-masalah ijmak.
- Memahami ushul fiqh.
- Mengetahui asbabun nuzul dan asbabul wurud.
- Mengetahui syarat mutawatir dan ahad, shahih dan dhaif
dan keadaan perawi.
- Mengusai kaifiah nadhar.
Syarat-syarat ini sangat sukar mampu
dicapai oleh seseorang, sehingga Imam Ghazali dalam Al Basith mengatakan bahwa
syarat-syarat ini pada masa ini telah ozor untuk dicapai.[6]
Tingkatan para Mujtahid
Mujtahid terbagi dua:
- Mustaqil.
- Ghairu Mustaqil.
- Mustaqil
adalah seorang mujtahid yang memenuhi semua syarat-syarat ijtihad
mampu menciptakan qawaid hukum sendiri dan lepas dari qaedah mazhab
lainnya.
Mujtahid yang memenuhi kriteria ini
tidak diperdapatkan semenjak masa setelah Imam Syafii. Bahkan Imam As Sayuthi
mengatakan keinginan manusia pada hari ini ingin menjadi mujtahid
adalah suatu hal yang mustahil.[7] Ulama yang mencapai tingkatan ini antara
lain Imam Mujtahid yang empat dan para imam mujtahid lainnya sebelum masa
mereka.
- Ghairu mustaqil (muntasib).
Mujtahid Ghairu mustaqil terdiri dari 4 tingkatan:
- Mujtahid yang tidak mengikuti imam baik dalam mazhab
maupun dalil karena memiliki sifat yang sama dengan mujtahid mustaqil.
Tetapi ia masih dibangsakan kepada Imam yang lain karena dalam menggali
hukum masih menempuh cara Imam dalam berijtihad.[8] Ulama yang berada pada
tingkatan ini seperti Al Muzani, murid senior Imam Syafii.
- Mujtahid yang muqayyad (terikat) dalam satu
mazhab, sanggup mengusai dan mengurai qawaid hukum dengan sendiri, tetapi
dalil-dalilnya tidak keluar dari qawaid dan dalil Imam.
Syarat mujtahid pada tingkatan ini
adalah alim dengan fiqh, ushul fiqh, adillah ahkam, menguasai masalik
qiyas (metode penemuan ilat) terlatih dalam menggali dan mengupas hukum,
mampu mengqiyaskan masalah yang tidak ada dalam nash Imam.
Bagi
mereka nash Imam menjadi dalil bagaikan nash syara` bagi Mujtahid mustaqil. Ini
adalah tingkatan ashhabil wujuh. Seperti Imam Qaffal dan Abi Hamid.[9]
- Mujtahid yang tidak sampai tingkatan Ashhabil wujuh
karena kekurangan mereka dalam memahami mazhab, kurang tebiasa dalam
istinbah hukum, tetapi mereka memiliki IQ yang tinggi, menguasai mazhab
imamnya, memahami dalil, dan sanggup mengurai dan mentarjihnya. Diantara
ulama tang berada pada tingkatan ini adalah Imam Nawawy dan Imam Rafii.
- Mujtahid yang mampu menaqal dan memahami
mazhab imamnya baik yang jelas maupun yang sukar. Namun tidak
sanggup menguraikan dalil dan mentaqrir qiyas.[10]
Sebagian para ulama membagi
tingkatan mujtahid hanya kepada tiga :
- Mujtahid mutlaq, seperti Imam yang empat
- Mujtahid Mazhab, seperti Al Muzani.
- Mujtahid Fatwa, seperti Imam Nawawy dan Imam Ar
Rafii.[11]
Kewajiban bermazhab.
Umumnya, manusia didunia terbagi
kepada dua kelompok, yaitu pandai (alim) dan awam. Yang dimaksud dengan
orang pandai (alim) dalam diskursus pemahaman bermazhab adalah
orang-orang yang telah memiliki kemampuan menggali hukum dari Al Quran dan
Hadis yang dinamakan sebagai Mujtahid. Sedangkan orang yang awam adalah
orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk itu disebut sebagai Muqallid.
Keadaan mereka mengikuti para imam Mujtahid dinamakan dengan taqlid.
Kewajiban terhadap setiap muslim
adalah meyakini dan mengamalkan apa yang telah disampaikan Rasulullah dalam
al-Qur'an dan Sunnah secara benar. Bagi para mujtahid, dengan kemampuan yang
mereka miliki, mereka dapat menggali hukum sendiri dari Al-Quran dan Hadis
bahkan bagi mereka tidak boleh mengikuti pendapat orang lain. Sedangkan bagi
orang awam betapa berat bagi mereka untuk memahami dan mengambil hukum dari Al
Quran dan Hadis. Maka bermazhab adalah semata-mata untuk memudahkan mereka
mengikuti ajaran agama dengan benar, sebab mereka tidak perlu lagi mencari
setiap permasalahan dari sumber aslinya yaitu al-Qur'an, Hadist, Ijma' dll,
namun mereka cukup membaca ringkasan tata cara beribadah dari mazhab-mazhab
tersebut. Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya beragama bagi orang awam, bila
harus mempelajari semua ajaran agamanya melalui al-Qur'an dan Hadist. Betapa
beratnya beragama bila semua orang harus berijtihad. Dan banyak sektor yang
menjadi kebutuhan manusia akan terbengkalai kalau seandainya setiap manusia
berkewajiban untuk berijtihad, karena untuk memenuhi syarat-syarat ijtihad
tersebut tentu menghabiskan waktu yang lama dalam mempelajarinya.
Taqlid dalam perbandingan lain dapat kita ibaratkan dengan mengkonsumsi
makanan siap saji yang telah di masak oleh ahlinya. Bila kita ingin memasaknya
sendiri tentu saja kita harus terlebih dahulu menyiapkan bahan-bahan makanan
tersebut dan harus mempelajari cara-cara memasaknya serta mempunyai pengalaman
dalam memasak. Hal ini tentu saja membutuhkan waktu bahkan kadang-kadang hasil
yang diperoleh tidak memuaskan, tidak menjadi makanan yang lezat. Demikian juga
dalam taqlid, tentu saja ia harus dahulu mempelajari dan menguasai syarat-syarat
ijihad. Bisa saja karena kemampuan yang masih kurang hukum yang dihasilkan
adalah hukum yang fasid.
Ayat dan Hadis landasan Taqlid.
Sebenarnya banyak ayat-ayat Al Quran
dan Hadis yang menjadi landasan kewajiban bertaqlid bagi manusia, antara lain:
- Surat Al Anbiya ayat 7
فسألوا أهل الذكر إن كنتم لا
تعلمون
“maka tanyakanlah kepada orang-orang
yang berilmu jika kamu tiada mengetahui”(Qs.Al-anbia:7)
Memang ayat diatas asbabun
nuzulnya untuk menyikapi prediksi orang-orang musyrik yang
menyatakan Allah tidak akan mengutus rasul dari jenis manusia . Namun
dalam undang-undang usul fiqh yang menjadi pertimbangan hukum dan titik tekan
dalam sebuah ayat adalah keumuman (universal) lafadz ayat.
Dengan demikian ayat diatas
sebenarnya mengandung perintah kepada orang yang tidak memiliki ilmu agama agar
bertanya dan mengikuti pendapat orang yang pandai diantara mereka. Secara
tekstual, ayat diatas berisi perintah bertanya kepada orang yang pintar. Tidak
ada informasi perintah taklid, sehingga tidak bisa di jadikan dalil kewajiban
taklid. Namun pemahaman demikian kurang tepat, sebab bila diperhatikan lebih
teliti, perintah diatas termasuk perintah mutlak dan umum.Tidak ditemukan
kekhususan perintah bertanya tentang dalil atau yang lainnya. Sehingga ayat
tersebut bias menjadi dalil kewajiban taklid.
- Surat An Nisa ayat 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Artinya: ‘’hai orang-orang yang
beriman! Turutilah Allah dan turutilah Rasul dan ulil amri dari kamu’’ (An Nisa
59)
‘’Ulil amri’’ dalam ayat diatas diartikan oleh para mufassir dengan
‘’ulama-ulama’’. Diantara para mufassir yang berpendapat demikian adalah ibnu
Abbas, Jabir bin Abdullah, Hasan, `Atha` dll. Maka dalam ayat ini diperintahkan
kepada kaum muslim untuk mengikut para ulama yang tak lain disebut taqlid.
- Surat As sajadah ayat 24
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً
يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“dan kami jadikan di antara mereka
itu pemimpin-pamimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka
bersabar, dan mereka meyakini ayat-ayat kami” (Qs. As-sajadah :24)
Abu As-su’ud berkomentar, subtansi ayat di atas menjelaskan tentang para imam yang
memberi petunjuk kepada umat tentang hukum-hukum yang terkandung dalam
Al-Qur’an. Dengan demikian wajib bagi umat untuk mengikuti petunjuk yang mereka
berikan.
- Hadis riwayat Turmuzi dll
اِقْتَدُوا بِاَللَّذَيْنِ مِنْ
بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ " ( أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ
حَسَنٌ وَأَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ وَابْنُ حِبَّا)
“Ikutilah dua orang sesudah saya,
yaitu Abu Bakar dan Umar“ (H.R.
Turmuzi, Imam Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
Dalam hadis ini jelas kita disuruh
kita mengikuti dua Ulama yang juga shahabat Nabi yaitu Abu bakar
dan Umar Rda. Ini adalah perintah untuk Taqlid.
- Hadis riwayat Baihaqi
أصحابي كا لنجوم باءيهم اقبديتم
اهتديتم (رواه البيهقي)
“Sahabatku seperti bintang,
siapa saja yang kamu ikuti maka kamu telah mendapat hidayat” (Riwayat Imam Baihaqi).
Ini juga dalil yang meyuruh kita
(yang bukan mujtahid ) untuk mengikuti sahabat-sahabat nabi, mengikuti mereka
itulah yang di katakan TAQLID.
Semua hadits diatas menggambarkan
bahwa para sahabat dan ulama-ulama setelah sahabat, merupakan pelita bagi umat
manusia, sehingga Rasulullah menjadikan para ulama sebagai pewaris para Anbiya’
dalam memberi petunjuk kepada ummat. Mengikuti mujtahid pada hakikat adalah
mengikuti Allah dan RasulNya, dan lagi para ulama telah sepakat bahwa ijtihad
mereka bersumber pada Kitab Allah dan Sunnah Rasul karena silsilahnya
(ikatan) dengan Rasulullah tidak diragukan, maka mengikuti mujtahid juga
dinamakan mengikuti Rasulullah.
Masih adakah mujtahid pada masa ini?
Secara akal memang tidak tertutup
kemungkinan adanya mujtahid mutlak yang memenuhi semua kriteria mujtahid diatas
pada akhir zaman. Namun dalam kenyataanya, para ulama besar seperti Imam
Ghazaly (450 H/ 1058 M - 505 H/ 1111 M), Ibnu Shalah (577 H/1181 M-643 H/1245
M), Imam Fakhr Ar-Razi (543 H-606 H) dan beberapa ulama besar lainnya
dengan tegas menyatakan bahwa semenjak masa setelah Imam Syafii (767-820 M)
tidak diperdapatkan seseorangpun yang memenuhi standar sebagai mujtahid mutlak.
Imam Rafii (wafat 623 H), Imam Nawawy (1233 - 1278 M) menyatakan bahwa “manusia
pada saat ini bagaikan telah sepakat bahwa tidak ada mujtahid”.[12] Imam
Ibnu Hajar menerangkan bahwa mujtahid yang dimaksudkan oleh Syaikhany (Imam
Rafii dan Imam Nawawy) adalah mujtahid mustaqil. Sehingga hal ini tidaklah
bertentangan dengan perkataan Ibnu Ruf`ah bahwa Ibnu Abdis Salam (577 H – 606
H) dan Ibnu Daqiqil `id (615 H – 702 H) telah mencapai derajat ijtihad, karena
ijtihad yang beliau maksudkan adalah ijtihad pada sebagian masalah.[13]
Syeikh Yusuf bin Ismail An Nabhany
(1849–1932 M) mengatakan bahwa dakwaan ijtihad pada masa ini oleh sebagian
orang yang telah alim hanyalah sebuah dakwaan dusta yang tidak perlu
dipedulikan. Perkataan beliau bukanlah tanpa dasar tetapi berdasarkan pernyataan
para ulama terkemuka yang lebih dahulu antara lain Imam Sya`rany (898 H/1493 M
- 973 H/1565 M), Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy (909 H - 974 H), Imam Al Manawy
(925 H - 131 H) dll.
Imam Ibnu Hajar menyebutkan, ketika
Imam Jalal As Suyuthy (849 H – 921 H) mendakwakan ijtihad, maka bangkitlah
beberapa ulama membawakan beberapa masalah yang belum di tarjih oleh para imam
terdahulu. Mereka meminta kepada Imam As Sayuthy jika memang beliau telah
sampai pada derajat ijtihad yang paling rendah yaitu mujtahid fatwa maka
hendaklah beliau menentukan pendapat yang kuat dari beberapa pendapat tersebut.
Namun Imam As Sayuthy tidak menjawabnya dan beliau beralasan bahwa disibukkan
dengan berbagai kegiatan. Derajat mujtahid fatwa adalah tingkatan mujtahid yang
paling rendah, namun juga sangat sulit untuk dicapai, apalagi tingakatan
mujtahid mazhab dan mujtahid mutlaq.
Imam Haramain(399 H - 460 H), dan
Imam Ghazaly (450 H/ 1058 M - 505 H/1111 M) merupakan dua ulama besar yang
diakui pada zamannya, namun jangankan tingkatan mujtahid mutlak, termasuk dalam
Ashabil Wujuh saja masih ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama.
Imam Rauyany (wafat 502 H) juga tidak termasuk dalam Ashabil wujuh
padahal ilmu beliau sangat luas, bahkan beliau sendiri pernah mengatakan bahwa ‘’kalau
seandainya semua nash Imam Syafii hilang maka aku sanggup mengdektekannya dari
dadaku’’. Imam Al Qaffal (291 - 365 H) yang merupakan guru dari para
Ashabil Wujuh mengatakan: “fatwa ada dua; pertama; seseorang yang telah
berhimpun padanya syarat ijtihad. Orang tingkatan ini sudah tidak diperdapatkan
lagi. Yang kedua; seseorang yang sanggup menguraikan mazhab salah satu
Imam Mujtahid dan menguasai dasar-dasar mazhab tersebut. Bila ditanyakan
masalah yang belum ada nash dari Imam Mazhab, mereka sanggup menggali hukumnya
berdasarkan qaedah Imam Mazhab. Kemudian beliau mengatakan bahwa mufti
tingkatan kedua ini ‘’lebih sulit diperdapatkan dari pada belerang merah’’.
Dapat disimpulkan bahwa derajat
mujtahid bukanlah derajat yang mudah dicapai. Para imam-imam yang terkemuka
seperti Imam Ghazali, Imam Fakhrur Razi, Imam Nawawy, Imam Rafii belum sampai
pada tingkatan mujtahid, mereka masih mengikut pada mazhab Imam Syafii, tidak
berijtihad sendiri.[14]
Adapun orang-orang yang mengajak
untuk berijtihad seperti Ibnu Qayyim (1292 M- 751 H/1350 M), Muhammad Abduh
(1849 - 1905 M), Rasyid Ridha (1865-1935 M), Jamaluddin Afghany (1838 – 1897 M)
dan beberapa tokoh kontemporer lainnya tak seorangpun dari mereka yang
setingkat dengan Imam Ibnu Hajar Al Haitamy, Imam Nawawy atau para ulama
lainnya yang masih taqlid kepada Imam Syafii. Demikian juga karangan mereka,
tak ada yang sebanding dengan kitab Tuhfatul Muhtaj atau Kitab Majmuk Syarah
Muhazzab karangan Imam Nawawy.
WAALLAHU A`LAM BISH SHAWAB.
LPI MUDI MESRA, Samalanga, Bireun,
Aceh.
Selasa, 03 Sya`ban 1432 H/05 Juli
2011 M
Maraji`
- Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh cet.
Dar Fikr
- Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy, Fatawy Kubra Cet.
Dar fikr
- Jalal Mahally, Al Mahally `ala jam`ul jawami`,
Cet. Haramain
- Imam Nawawy, Adabul fatwa wal mufti Cet. Dar
Fikr
- Sayyid `Alawy As Saqqaf, Sab`atul kutub
mufidah Cet. Haramain
- Imam As sayuthi, Ar radd `ala man
ahklada wa jahal annal ijtihad fardh fi kulli `ashr Cet. Dar
Fikr
- Syeikh Yususf An Nabhany, Syawahidul Haq
Cet. Matba`ah Maimaniyah
- Zakaria Al Anshary, Ghayah Wushul syarah Lubb al
Ushul, Cet. Semarang, Toha putra
- Imam Zarkasyi, Bahrul Muhith cet. Dar Fikr
[1] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh
al-Islam wa Adillatuh jilid 1, hal. 43 cet. Dar Fikr
[2] ibid, hal. 45
[3] Ibid. hal. 53
[4] Zakaria Al Anshary, Ghayah
Wushul syarah Lubb al Ushul, (semarang, Toha putra) hal 147
[5] Jalal Al Mahalli, Syarah `ala
jam`ul jawami`jlid 2 hal 382. Cet. Haramain, Imam Zarkasyi, Bahrul Muhid
jilid 4 hal 489 Cet. Dar Kutub Ilmiyah
[6] Syeikh Yususf An Nabhany, Syawahidul
Haq hal 5 cet. Matba`ah Maimaniyah
[7] Imam As sayuthi, Ar
radd `ala man ahklada wa jahal annal ijtihad fardh fi kulli `ashr..hal
38. Cet. Maktabah Staqafiyah Ad Diniyah
[8] Imam Nawawy, Adabul fatwa wal
mufti, hal 25, Cet. Dar Fikr
[9] Sayyid Alawy bin Ahmad As Saqaf,
Sab`atul kutub mufidah hal 46 Cet. Haramain
[10] Imam Nawawy , Ibid Hal
23
[11] Jalal Al Mahally, Syarah
`ala jam`ul jawami`, jilid 2 hal 385 Cet. Haramain
[12] Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy, Fatawy
Kubra, jilid 4 hal 302 cet. Dar fikr
[13] Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy, Tuhfatul
Muhtaj, jilid 10 hal 123 cet. Dar Fikr
[14] Syeikh Yususf An Nabhany, Syawahidul
Haq, hal 3 cet. Matba`ah Maimaniyah