Powered By Blogger

Jumat, 31 Agustus 2012

wajibkah kita bermazhab,


Wajibkah kita bermazhab?
oleh Abu Mudi pada 27 Juli 2012 pukul 17:23 ·
karena ada salah satu penanya yang menanyaakn dalil kewajiban bermazhab, berikut kami tampilkan sedikit uraian tentang Mazhab dan bermazhab, semoga bermanfaat.

sebelum kita menghukumi apakah wajibkan kita bermazhab atau tidak ada baiknya kita harus mengenal dulu apa itu mazhab? berikut penjelasan sedikit tentang hal tersebut.

Mazhab.
Mazhab adalah ism makan atau ism zaman yang berasal dari kata;
 ذهب – يذهب – ذهبا / ذهابا 
yang berarti pergi atau berjalan, maka secara bahasa arti mazhab adalah tempat berjalan/jalan atau waktu berpergian. Pengertian mazhab dalam bingkai syari`at adalah sekumpulan pemikiran Imam Mujtahid dibidang hukum-hukum syari`at yang digali dengan menggunakan dalil-dalil secara terperinci, dan kaedah-kaedah ushul. Jadi  Mazhab yang kita maksudnya di sini adalah mazhab fiqh. Saat ini kita mengenal empat Mazhab dalam dunia islam, yaitu:
  1. Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi dibentuk oleh seorang ulama besar kufah yang bernama lengkap, Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit bin Zuwatha al-Kufii. Beliau lahir pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 150 H. beliau adalah termasuk dalam atba’ al-tabi’in, dan ada ulama yang mengatakan bahwa beliau tergolong dalam Tabi’in, yang hidup dalam dua daulah yaitu daulah umayyah dan daulah ‘abbasiyyah, sehingga beliau pernah bertemu dengan Anas bin Malik dan juga meriwatkan hadits darinya.[1] Sekarang ini mazhab Hanafi merupakan mazhab di Mesir, Turki, Syiria dan Libanon. Dan mazhab ini dianut sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok.
  1. Mazhab Maliki
Mazhab ini didirikan oleh seorang ulama besar madinah yang lahir pada tahun 93 H/73 M, dari keluarga Arab terhormat, bernama lengkap Abu ‘Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir bin amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al-Ashbahi. Orang tua dan leluhurnya dikenal sebagai ulama hadits Madinah, kerena ini membuat imam Malik sejak kecil mencintai ilmu hadits dan ilmu lainnya. Mula-mula beliau menimba ilmu hadits pada ayah dan paman-pamannya. Kemudian berguru kepada ulama-ulama terkenal antara lain, ‘Abd ar-Rahman bin Hurmuz dan Nafi’ Maula Ibn ‘Umar. Dan guru beliau dibidang fiqh ialah, Rabi’ah bin ‘Abd Ar-Rahman, dan imam Ja’far ash-Shadiq[2].

Imam Malik telah menguasai banyak ilmu sehingga tidak sedikit ulama yang menimba ilmu padanya, termasuk diantaranya imam Syafi’i penegak pertama mazhab Syafi’i, Bahkan menurut satu riwayat, murid terkenal imam Malik mencapai 1.300 orang. Daerah-daerah yang Menganut Mazhab Maliki. saat ini ada di Marokko, Aljazair, Tunisi, Libia, Bahrain, dan Kuwait.
  1. Mazhab Syafi’i
Mazhab ini didirikan oleh seorang ulama yang lahir pada tahun 150 H, di Gazza bagian selatan dari Palestina. Bernama lengkap imam Abu ‘Abd al-llah Muhammad bin Idris bin ‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin Saib bin Abu Yazid bin Hasyim bin ‘Abd al-Muthallib al-Quraiyi al-Hasyimi, yang bertemu dengan Rasulullah pada kakek beliau yang kesembilan. Sedangkan ibunya bernama Fathimah binti ‘Abdillah bin Hasan bin Husain bin ‘Ali Ra yang merupakan shahabat dan menantu Rasulullah SAW.
Sejak masih usia Sembilan tahun, beliau sudah hafal seluruh al-Qur’an, kemudian  dalam usia sepuluh tahun, beliau sudah hafal kitab al-muwattha’ imam Malik yang memuat lima ribu hadits-hadits shahih. Banyanya ilmu yang beliau miliki karena ketekunannya dalam mencari ilmu, hampir setiap pusat ilmu berliau ziarahi seperti Mekkah, Madinah, Iraq, Kufah dan Mesir, disana beliau berjumpa dengan ulama-ulama besar, seperti imam Malik, dimana imam Syafi’i selalu bersama beliau selama satu tahun. Dan Abu Yusuf, ashhab dari Abu Hanifah.
 Pada tahun 179 H, beliau diberi izin oleh imam Malik untuk berfatwa sendiri, namun beliau tetap bertaqlid pada guru-gurunya, sehingga pada tahun 198 H, sesudah usia beliau genap 48 tahun, mulailah berfatwa sendiri dengan lisan maupun dengan tulisan, pertama memberi fatwa di ‘Iraq yang diishtilahkan dengan al-Qaulul Qadim, kemudian berpindah ke Mesir dan fatwa beliau selama disini diishtilahkan dengan al-Qaulul Jadid. Di kota inilah beliau menghadap Allah Swt sesudah shalat maghrib malam Jum’at, akhir bulan Rajab pada tahun 204 H, bertepatan dengan 28 Juni 819 M. Mazhab Syafi’i sampai sekarang dianut oleh umat Islam di Libia, Mesir, Indonesia, Pilipina, Malaysia, Somalia, Arabia Selatan, Palestina, Yordania, Libanon, Siria, Irak, Hijaz, Pakistan, India, Jazirah Indo China, Sunni-Rusia dan Yaman.
  1. Mazhab Hanbali
Mazhab ini didirikan oleh imam Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Asada az-Zuhili asy-Syaibani, beliau lahir di pusat pengembangan islam Baghdad pada tahun 164 H dan dikota ini pula banyak menghabiskan masa hidupnya untuk mengabdi pada pendidikan islam sehingga wafat pada bulan Rabi’ul Awal tahun 241 H, sebagaimana ulama lainnya, beliau juga hijrah kepusat-pusat ilmu pengetahuan lainnya seperti, kufah, Bashrah, Makkah, Madinah, Yaman, Syam, dan Jazirah.
Beliau adalah seorang ulama hadits, dan fiqh yang banyak menghafal hadits dari guru-gurunya antara lain Imam Syafi’i dan Hasyim bin Basyir bin Abi Khazim al-Bukhari sehingga beliau menyusun satu kitab yang memuat empat puluh ribu hadits. Banyak para ulama yang memberi kesaksian atas ketinggian ilmunya, antara lain Ibrahim al-Harbi berkata “aku lihat Ahmad bin Hanbal seolah-olah beliau telah mengumpulkan ilmu ulama terdahulu dan selanjutnya”[3]. sekarang ini Mazhab Hanbali menjadi mazhab resmi pemerintahan Saudi Arabia dan mempunyai penganut terbesar di seluruh Jazirah Arab, Palestina, Siria dan Irak.
Selain mazhab yang empat masih terdapat mazhab lain, seperti Mazhab Al-Ibadhiyah yang didirikan oleh Jabir bin Zaid (wafat 93 H). Mazhab Azh-Zhahiriyah yang didirikan oleh Daud bin Ali Azh-Zhahiri (wafat 270 H), Mazhab Laist yang didirikan oleh imam al-Laits bin sa’ad bin’Abdur rahman al-Fahmi ( 94 H-175 H), Mazhab  Tsaury didirikan oleh Imam Sufyan ibn Sa’id bin Masruq bin Habib bin Rafi’I, ( 97 H/715 M ), Mazhab Auza`i didirikan oleh Abdurrahman Al Auza'i (wafat 113 H), Mazhab Ishaq ibn Rahawiyah, Mazhab Sufyan bin Uyainah, Mazhab Imam Hasan Basri.
 Namun selain mazhab yang empat semuanya tidak bertahan lama pengikutnya hanya ada pada saat Imam mazhabnya masih hidup, setelah beliau wafat tidak ada lagi yang meneruskan mazhabnya. Karena itu sangat sulit bagi kita menelusuri mazhab selain empat apalagi bermazhab dengan selain yang empat.

                Ijtihad
Ijtihad adalah etimologi berarti kesanggupan dan kemampuan. Sedangkan pengertian Ijtihad secara istilah adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk menghasilkan sebuah dhan terhadap satu hukum.[4] Pelaku ijtihad disebut sebagai Mujtahid. Ijtihad telah semenjak Rasulullah SAW, saat Rasulullah SAW memerintahkan shahabat Mu`az Bin Jabal ke negri Yaman menjadi hakim, Rasulullah bertanya: ‘’Dengan apa kamu akan menuturkan perkara yang diadukan padamu? Mu`az menjawab; dengan hukum yang tertera dalam kitabullah. Rasulullah bertanya lagi; jika engkau tidak menemukan dalam kitabullah? Mu`az menjawab; aku akan menghukumi dengan keputusan-keputusan Rasulullah. Rasululah terus bertanya; “jika kamu tidak mendapatkan keputusan Rasulullah? Mu`az menjawab; “Aku akan berijtihad dengan pendapatku’’ (H.R. Ad Darimy)

Syarat ijtihad
Tidak sembarang orang dapat melakukan ijtihad. Bahkan dari kalangan shahabat Nabi sendiri hanya beberapa orang saja yang berijtihad sendiri. Beberapa syarat mutlak harus dipenuhi. Secara ringkas syarat-syarat tersebut antara lain:[5]
  1. Baligh
  2. Berakal (Memiliki malakah untuk memahami).
  3. Memiliki IQ yang tinggi (syadid fahmi)
  4. Memahami dalil `aqly (bara`ah ashliah).
  5. Memahami loghat arab dan ilmu arabiyah (loghat, nahu, saraf, badi`, bayan, ma`any, `arudh, qawafy dll)
  6. Memahami ayat atau hadis yang bekenaan dengan hukum.
  7. Mengusai serta ahli dalam memraktekkan   qawaid-qawaid syara`
  8. Mengenal nasikh dan mansukh.
  9. Mengetahui masalah-masalah ijmak.
  10. Memahami ushul fiqh.
  11. Mengetahui asbabun nuzul dan asbabul wurud.
  12. Mengetahui syarat mutawatir dan ahad, shahih dan dhaif dan keadaan perawi.
  13. Mengusai kaifiah nadhar.

Syarat-syarat ini sangat sukar mampu dicapai oleh seseorang, sehingga Imam Ghazali dalam Al Basith mengatakan bahwa syarat-syarat ini pada masa ini telah ozor untuk dicapai.[6]

Tingkatan para Mujtahid
Mujtahid terbagi dua:
  1. Mustaqil.
  2. Ghairu Mustaqil.

  1. Mustaqil adalah seorang mujtahid yang memenuhi semua syarat-syarat ijtihad  mampu menciptakan qawaid hukum sendiri dan lepas dari qaedah mazhab lainnya.
Mujtahid yang memenuhi kriteria ini tidak diperdapatkan semenjak masa setelah Imam Syafii. Bahkan Imam As Sayuthi mengatakan  keinginan manusia pada hari ini  ingin menjadi mujtahid adalah suatu hal yang mustahil.[7] Ulama yang mencapai tingkatan ini antara lain Imam Mujtahid yang empat dan para imam mujtahid lainnya sebelum masa mereka.
  1. Ghairu mustaqil (muntasib).
Mujtahid Ghairu mustaqil terdiri dari 4 tingkatan:
  1. Mujtahid yang tidak mengikuti imam baik dalam mazhab maupun dalil karena memiliki sifat yang sama dengan mujtahid mustaqil. Tetapi ia masih dibangsakan kepada Imam yang lain karena dalam menggali hukum masih menempuh cara Imam dalam berijtihad.[8] Ulama yang berada pada tingkatan ini seperti Al Muzani, murid senior Imam Syafii.
  2. Mujtahid yang muqayyad (terikat) dalam satu mazhab, sanggup mengusai dan mengurai qawaid hukum dengan sendiri, tetapi dalil-dalilnya tidak keluar dari  qawaid dan dalil  Imam.
Syarat mujtahid pada tingkatan ini adalah alim dengan fiqh, ushul fiqh, adillah ahkam, menguasai masalik qiyas (metode penemuan ilat) terlatih dalam menggali dan mengupas hukum, mampu mengqiyaskan masalah yang tidak ada dalam nash Imam.
      Bagi mereka nash Imam menjadi dalil bagaikan nash syara` bagi Mujtahid mustaqil. Ini adalah tingkatan ashhabil wujuh. Seperti Imam Qaffal dan Abi Hamid.[9]
  1. Mujtahid yang tidak sampai tingkatan Ashhabil wujuh karena kekurangan mereka dalam memahami mazhab, kurang tebiasa dalam istinbah hukum, tetapi mereka memiliki IQ yang tinggi, menguasai mazhab imamnya, memahami dalil, dan sanggup mengurai dan mentarjihnya. Diantara ulama tang berada pada tingkatan ini adalah Imam Nawawy dan Imam Rafii.
  2. Mujtahid yang mampu  menaqal  dan memahami mazhab imamnya  baik yang jelas maupun yang sukar. Namun tidak sanggup menguraikan dalil dan mentaqrir qiyas.[10]

Sebagian para ulama membagi tingkatan mujtahid hanya  kepada tiga :
  1. Mujtahid mutlaq, seperti Imam yang empat
  2. Mujtahid Mazhab, seperti Al Muzani.
  3. Mujtahid Fatwa, seperti Imam Nawawy dan Imam Ar Rafii.[11]
Kewajiban bermazhab.
Umumnya, manusia didunia terbagi kepada dua kelompok, yaitu pandai (alim) dan awam. Yang dimaksud dengan orang pandai (alim) dalam diskursus pemahaman bermazhab adalah orang-orang yang telah memiliki kemampuan menggali hukum dari Al Quran dan Hadis yang dinamakan sebagai Mujtahid. Sedangkan orang yang awam adalah orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk itu disebut sebagai Muqallid. Keadaan mereka mengikuti para imam Mujtahid dinamakan dengan taqlid.
Kewajiban terhadap setiap muslim adalah meyakini dan mengamalkan apa yang telah disampaikan Rasulullah dalam al-Qur'an dan Sunnah secara benar. Bagi para mujtahid, dengan kemampuan yang mereka miliki, mereka dapat menggali hukum sendiri dari Al-Quran dan Hadis bahkan bagi mereka tidak boleh mengikuti pendapat orang lain. Sedangkan bagi orang awam betapa berat bagi mereka untuk memahami dan mengambil hukum dari Al Quran dan Hadis. Maka bermazhab adalah semata-mata untuk memudahkan mereka mengikuti ajaran agama dengan benar, sebab mereka tidak perlu lagi mencari setiap permasalahan dari sumber aslinya yaitu al-Qur'an, Hadist, Ijma' dll, namun mereka cukup membaca ringkasan tata cara beribadah dari mazhab-mazhab tersebut. Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya beragama bagi orang awam, bila harus mempelajari semua ajaran agamanya melalui al-Qur'an dan Hadist. Betapa beratnya beragama bila semua orang harus berijtihad. Dan banyak sektor yang menjadi kebutuhan manusia akan terbengkalai kalau seandainya setiap manusia berkewajiban untuk berijtihad, karena untuk memenuhi syarat-syarat ijtihad tersebut tentu menghabiskan waktu yang lama dalam mempelajarinya.

                Taqlid dalam perbandingan lain dapat kita ibaratkan dengan mengkonsumsi  makanan siap saji yang telah di masak oleh ahlinya. Bila kita ingin memasaknya sendiri tentu saja kita harus terlebih dahulu menyiapkan bahan-bahan makanan tersebut dan harus mempelajari cara-cara memasaknya serta mempunyai pengalaman dalam memasak. Hal ini tentu saja membutuhkan waktu bahkan kadang-kadang hasil yang diperoleh tidak memuaskan, tidak menjadi makanan yang lezat. Demikian juga dalam taqlid, tentu saja ia harus dahulu mempelajari dan menguasai syarat-syarat ijihad. Bisa saja karena kemampuan yang masih kurang hukum yang dihasilkan adalah hukum yang fasid.

                Ayat dan Hadis landasan Taqlid.
                Sebenarnya banyak ayat-ayat Al Quran dan Hadis yang menjadi landasan kewajiban bertaqlid bagi manusia, antara lain:
  1. Surat Al Anbiya ayat 7
 فسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون   
“maka tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tiada mengetahui”(Qs.Al-anbia:7)

Memang  ayat diatas asbabun nuzulnya untuk menyikapi prediksi  orang-orang musyrik yang menyatakan  Allah tidak akan mengutus rasul dari jenis manusia . Namun dalam undang-undang usul fiqh yang menjadi pertimbangan hukum dan titik tekan dalam sebuah ayat adalah keumuman (universal) lafadz ayat.
Dengan demikian ayat diatas sebenarnya mengandung perintah kepada orang yang tidak memiliki ilmu agama agar bertanya dan mengikuti pendapat orang yang pandai diantara mereka.  Secara tekstual, ayat diatas berisi perintah bertanya kepada orang yang pintar. Tidak ada informasi perintah taklid, sehingga tidak bisa di jadikan dalil kewajiban taklid. Namun pemahaman demikian kurang tepat, sebab bila diperhatikan lebih teliti, perintah diatas termasuk perintah mutlak dan umum.Tidak ditemukan kekhususan perintah bertanya tentang dalil atau yang lainnya. Sehingga ayat tersebut bias menjadi dalil kewajiban taklid.

  1. Surat An Nisa ayat 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ 
Artinya: ‘’hai orang-orang yang beriman! Turutilah Allah dan turutilah Rasul dan ulil amri dari kamu’’ (An Nisa 59)
‘’Ulil amri’’ dalam ayat diatas diartikan oleh para mufassir dengan ‘’ulama-ulama’’. Diantara para mufassir yang berpendapat demikian adalah ibnu Abbas, Jabir bin Abdullah, Hasan, `Atha` dll. Maka dalam ayat ini diperintahkan kepada kaum muslim untuk mengikut para ulama yang tak lain disebut taqlid.
  1. Surat As sajadah ayat 24

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ 
“dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pamimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka bersabar, dan mereka meyakini ayat-ayat kami” (Qs. As-sajadah :24)

         Abu As-su’ud berkomentar, subtansi ayat di atas menjelaskan tentang para imam yang memberi petunjuk kepada umat tentang hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an. Dengan demikian wajib bagi umat untuk mengikuti petunjuk yang mereka berikan.

  1. Hadis riwayat Turmuzi dll
اِقْتَدُوا بِاَللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ " ( أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ حَسَنٌ  وَأَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ وَابْنُ حِبَّا) 
“Ikutilah dua orang sesudah saya, yaitu Abu Bakar dan Umar“ (H.R. Turmuzi, Imam Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)

Dalam hadis ini jelas kita disuruh kita mengikuti  dua Ulama yang juga shahabat Nabi yaitu Abu bakar  dan Umar  Rda. Ini adalah perintah untuk Taqlid.
  1. Hadis riwayat Baihaqi
أصحابي كا لنجوم باءيهم اقبديتم اهتديتم (رواه البيهقي)
“Sahabatku  seperti bintang, siapa saja yang kamu ikuti maka kamu telah mendapat hidayat” (Riwayat  Imam Baihaqi).

Ini juga dalil yang meyuruh kita (yang bukan mujtahid ) untuk mengikuti sahabat-sahabat nabi, mengikuti mereka itulah yang di katakan TAQLID.

Semua hadits diatas menggambarkan bahwa para sahabat dan ulama-ulama setelah sahabat, merupakan pelita bagi umat manusia, sehingga Rasulullah menjadikan para ulama sebagai pewaris para Anbiya’ dalam memberi petunjuk kepada ummat. Mengikuti mujtahid pada hakikat adalah mengikuti Allah dan RasulNya, dan lagi para ulama telah sepakat bahwa ijtihad mereka bersumber pada Kitab Allah dan Sunnah Rasul karena silsilahnya (ikatan) dengan Rasulullah tidak diragukan, maka mengikuti mujtahid juga dinamakan mengikuti Rasulullah.

            Masih adakah mujtahid pada masa ini?
Secara akal memang tidak tertutup kemungkinan adanya mujtahid mutlak yang memenuhi semua kriteria mujtahid diatas pada akhir zaman. Namun dalam kenyataanya, para ulama besar seperti Imam Ghazaly (450 H/ 1058 M - 505 H/ 1111 M), Ibnu Shalah (577 H/1181 M-643 H/1245 M), Imam Fakhr Ar-Razi  (543 H-606 H) dan beberapa ulama besar lainnya dengan tegas menyatakan bahwa semenjak masa setelah Imam Syafii (767-820 M) tidak diperdapatkan seseorangpun yang memenuhi standar sebagai mujtahid mutlak. Imam Rafii (wafat 623 H), Imam Nawawy (1233 - 1278 M) menyatakan bahwa “manusia pada saat ini bagaikan telah sepakat bahwa tidak ada mujtahid”.[12] Imam Ibnu Hajar menerangkan bahwa mujtahid yang dimaksudkan oleh Syaikhany (Imam Rafii dan Imam Nawawy) adalah mujtahid mustaqil. Sehingga hal ini tidaklah bertentangan dengan perkataan Ibnu Ruf`ah bahwa Ibnu Abdis Salam (577 H – 606 H) dan Ibnu Daqiqil `id (615 H – 702 H) telah mencapai derajat ijtihad, karena ijtihad yang beliau maksudkan adalah ijtihad pada sebagian masalah.[13]
Syeikh Yusuf bin Ismail An Nabhany (1849–1932 M) mengatakan bahwa dakwaan ijtihad pada masa ini oleh sebagian orang yang telah alim hanyalah sebuah dakwaan dusta yang tidak perlu dipedulikan. Perkataan beliau bukanlah tanpa dasar tetapi berdasarkan pernyataan para ulama terkemuka yang lebih dahulu antara lain Imam Sya`rany (898 H/1493 M - 973 H/1565 M), Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy (909 H - 974 H), Imam Al Manawy (925 H - 131 H) dll.
Imam Ibnu Hajar menyebutkan, ketika Imam Jalal As Suyuthy (849 H – 921 H) mendakwakan ijtihad, maka bangkitlah beberapa ulama membawakan beberapa masalah yang belum di tarjih oleh para imam terdahulu. Mereka meminta kepada Imam As Sayuthy jika memang beliau telah sampai pada derajat ijtihad yang paling rendah yaitu mujtahid fatwa maka hendaklah beliau menentukan pendapat yang kuat dari beberapa pendapat tersebut. Namun Imam As Sayuthy tidak menjawabnya dan beliau beralasan bahwa disibukkan dengan berbagai kegiatan. Derajat mujtahid fatwa adalah tingkatan mujtahid yang paling rendah, namun juga sangat sulit untuk dicapai, apalagi tingakatan mujtahid mazhab dan mujtahid mutlaq.
Imam Haramain(399 H - 460 H), dan Imam Ghazaly (450 H/ 1058 M - 505 H/1111 M) merupakan dua ulama besar yang diakui pada zamannya, namun jangankan tingkatan mujtahid mutlak, termasuk dalam Ashabil Wujuh saja masih ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Imam Rauyany (wafat 502 H) juga tidak termasuk dalam Ashabil wujuh padahal ilmu beliau sangat luas, bahkan beliau sendiri pernah mengatakan bahwa ‘’kalau seandainya semua nash Imam Syafii hilang maka aku sanggup mengdektekannya dari dadaku’’. Imam Al Qaffal (291 - 365 H) yang merupakan guru dari para Ashabil Wujuh mengatakan: “fatwa ada dua; pertama; seseorang yang telah berhimpun padanya syarat ijtihad. Orang tingkatan ini sudah tidak diperdapatkan lagi. Yang kedua; seseorang yang sanggup menguraikan mazhab salah satu Imam Mujtahid dan menguasai dasar-dasar mazhab tersebut. Bila ditanyakan masalah yang belum ada nash dari Imam Mazhab, mereka sanggup menggali hukumnya berdasarkan qaedah Imam Mazhab. Kemudian beliau mengatakan bahwa mufti tingkatan kedua ini ‘’lebih sulit diperdapatkan dari pada belerang merah’’.
Dapat disimpulkan bahwa derajat mujtahid bukanlah derajat yang mudah dicapai. Para imam-imam yang terkemuka seperti Imam Ghazali, Imam Fakhrur Razi, Imam Nawawy, Imam Rafii belum sampai pada tingkatan mujtahid, mereka masih mengikut pada mazhab Imam Syafii, tidak berijtihad sendiri.[14]
Adapun orang-orang yang mengajak untuk berijtihad seperti Ibnu Qayyim (1292 M- 751 H/1350 M), Muhammad Abduh (1849 - 1905 M), Rasyid Ridha (1865-1935 M), Jamaluddin Afghany (1838 – 1897 M) dan beberapa tokoh kontemporer lainnya tak seorangpun dari mereka yang setingkat dengan Imam Ibnu Hajar Al Haitamy, Imam Nawawy atau para ulama lainnya yang masih taqlid kepada Imam Syafii. Demikian juga karangan mereka, tak ada yang sebanding dengan kitab Tuhfatul Muhtaj atau Kitab Majmuk Syarah Muhazzab karangan Imam Nawawy.


WAALLAHU A`LAM BISH SHAWAB.
LPI MUDI MESRA, Samalanga, Bireun, Aceh.
Selasa, 03 Sya`ban 1432 H/05 Juli 2011 M
Maraji`
  1. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh cet. Dar Fikr
  2. Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy, Fatawy Kubra Cet. Dar fikr
  3. Jalal Mahally, Al Mahally `ala jam`ul jawami`, Cet. Haramain
  4. Imam Nawawy, Adabul fatwa wal mufti Cet. Dar Fikr
  5.  Sayyid `Alawy As Saqqaf, Sab`atul kutub mufidah Cet. Haramain
  6. Imam As sayuthi,  Ar radd `ala man ahklada  wa jahal annal ijtihad fardh fi kulli `ashr Cet. Dar Fikr
  7. Syeikh Yususf An Nabhany, Syawahidul Haq  Cet. Matba`ah Maimaniyah
  8. Zakaria Al Anshary, Ghayah Wushul syarah Lubb al Ushul, Cet. Semarang, Toha putra
  9. Imam Zarkasyi, Bahrul Muhith cet. Dar Fikr


[1] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh jilid 1, hal. 43 cet. Dar Fikr

[2] ibid, hal. 45

[3] Ibid. hal. 53

[4] Zakaria Al Anshary, Ghayah Wushul syarah Lubb al Ushul, (semarang, Toha putra) hal 147

[5] Jalal Al Mahalli, Syarah `ala jam`ul jawami`jlid 2 hal 382. Cet. Haramain, Imam Zarkasyi, Bahrul Muhid jilid 4 hal 489 Cet. Dar Kutub Ilmiyah

[6] Syeikh Yususf An Nabhany, Syawahidul Haq  hal 5 cet. Matba`ah Maimaniyah

[7] Imam As sayuthi,  Ar radd `ala man ahklada  wa jahal annal ijtihad fardh fi kulli `ashr..hal 38. Cet. Maktabah Staqafiyah Ad Diniyah

[8] Imam Nawawy, Adabul fatwa wal mufti, hal 25, Cet. Dar Fikr

[9] Sayyid Alawy bin Ahmad As Saqaf, Sab`atul kutub mufidah hal 46 Cet. Haramain

[10] Imam Nawawy , Ibid Hal 23

[11] Jalal Al Mahally, Syarah `ala jam`ul jawami`, jilid 2 hal  385 Cet. Haramain

[12] Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy, Fatawy Kubra, jilid 4 hal 302 cet. Dar fikr

[13] Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy, Tuhfatul Muhtaj, jilid 10 hal 123 cet. Dar Fikr

[14] Syeikh Yususf An Nabhany, Syawahidul Haq,  hal 3 cet. Matba`ah Maimaniyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar